Sumber-Sumber Hukum Tata Negara
Pengertian Sumber Hukum
Menurut Bagir Manan (2006: 28), menelaah dan mempelajari sumber hukum memerlukan kehati-hatian karena istilah sumber hukum mengandung berbagai pengertian. Tanpa kehati-hatian dan kecermatan yang mendalam mengenai apa yang dimaksud dengan sumber hukum, dapat menimbulkan kekeliruan bahkan menyesatkan.
Sejatinya ihwal sumber hukum itu bermacam-macam pengertiannya, yakni tergantung pada sudat mana kita melihatnya (Khairuddin & Satriawan, 2018:13). Sumber hukum menurut sudut pandang ahli sejarah, tentu akan memiliki disparitas arti dibandingkan menurut gatra pakar sosiologi. Demikian jua, istilah sumber hukum menurut sudut pandang ahli filsafat, akan jauh memiliki distingsinya ketimbang menurut sudut pandang ahli hukum.
Dengan kata lain, untuk mengetahui sumber hukum yang tepat, maka terlebih dahulu harus ditentukan dari sudut pandang mana sumber hukum itu dilihat, apakah dari gatra ahli sosiologi atawa dari perspektif ahli filsafat, atau dari sudut pandang ahli hukum.
Sebagai contoh dan eksplanasi dari aspek ahli hukum, secara khusus di bawah ini beberapa pakar hukum (legal expert) memberi gambaran tentang sumber hukum. Pengertian sumber hukum menurut Sudikno Mertokusumo (2005: 82), yaitu :
1. sebagai asas hukum, yakni yang menjadi sesuatu nan merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa, dan sebagainya.
2. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang kontemporer berlaku, seperti hukum Perancis, hukum Romawi dan lain-lain.
3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum (penguasa atau masyarakat).
4. Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undang-undang, lontar, batu tertulis, dan sebagainya.
5. Sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum.
Sedangkan menurut Joeniarto dalam (Nadir, 2013: 14-15) bahwa sumber hukum dapat dibedakan menjadi tiga pengertian :
1. Sumber hukum dalam artian sebagai asal hukum positif, wujudnya dalam konfigurasi yang konkrit berupa “keputusan dari yang berwenang” untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan.
2. Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukannya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum positif. Rupanya ialah berupa peraturan-peraturan atau ketetapan-ketetapan, entah itu tertulis atawa tak tertulis.
3. Sumber hukum yang direlasikan dengan filsafat, sejarah, dan masyarakat. Dari ihwal ini, kita dapatkan sumber hukum filosofis, historis, dan sosiologis. Sumber hukum filosofis maksudnya agar penguasa yang berwenang nanti di dalam menentukan hukum positif, mempertimbangkan faktor-faktor nan bersifat filosofis. Sumber hukum historis maksudnya agar penguasa yang berwenang dalam menentukan esensi hukum positif, memerhatikan factor-faktor historis. Sumber hukum sosiologis maksudnya agar diperhatikan factor-faktor nan terdapat di dalam lingkungan masyarakat yang nantinya akan dijadikan tempat atau daerah berlakunya hukum positif.
Menurut R. Soeroso (2015: 117) sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Yang dimaksud dengan segala sesuatu yakni faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal, dari mana hukum itu dapat ditemukan, dan sebagainya.
Pengertian Sumber Hukum itu sendiri jika menurut kepada Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, ditandaskan bahwasanya : (1) Sumber Hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan; (2) Sumber Hukum terdiri atas sumber Hukum tertulis dan tidak tertulis; (3) Sumber Hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Syahdan, menurut Hans Kelsen, istilah sumber Hukum (sources of law) itu dapat mengandung jamak pengertian lantaran sifatnya yang figurative and highly ambiguous. Pertama, yang lazimnya dimafhumi sebagai sources of law ada dua macam, yaitu custom and statute. Atas kausa itu, sources of law galib dipahami sebagai a method of creating law, custom, and legislation, yaitu customary and statutory creation of law. Kedua, sources of law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason for the validity of law. Semua norma yang lebih tinggi merupakan sumber hukum bagi norma yang lebih rendah. Oleh karenanya, pengertian sumber hukum (sources of law) itu identik dengan hukum itu sendiri (the sources of law is always it self law). Ketiga, sources of law jua dipakai untuk hal-ihwal yang bersifat non-juridis, seperti norma moral, etika, prinsip-prinsip politik, atau pun pendapat para ahli, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum itu sendiri.
Meskipun pengertian sumber hukum dimafhumi secara beragam, kolateral dengan pendekatan yang digunakan dan analog dengan latar belakang jua pendidikannya, (Kusumaatmadja & Sidharta, 2013: 54) secara generik dapat disebutkan bahwa sumber hukum dipakai dalam dua arti. Arti yang pertama guna merespon pertanyaan “mengapa hukum itu mengikat”?. Pertanyaan ini jua bisa diformulasikan “apa sumber (kekuatan) hukum hingga mengikat atau dipatuhi orang”. Pengertian sumber dalam arti ini dinamakan sumber hukum dalam arti materiil. Kata sumber pula digunakan dalam maksud lain, yaitu untuk menjawab pertanyaan “di manakah kita dapatkan atau temukan aturan-aturan hukum yang mengatur kehidupan kita itu?”. Sumber dalam arti kata ini dinamakan sumber hukum dalam arti formil. Secara simpel, ditandaskan Ridwan HR (2010: 55) bahwasanya sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum serta tempat ditemukannya aturan-aturan hukum.
Macam-Macam Sumber Hukum
Mengenai macam-macam sumber hukum, Algra dalam (Mertokusumo, 2005: 82-83) membagi sumber hukum menjadi dua:
1. Sumber hukum materiil
Yang dimaksud di sini, yakni tempat di mana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum misalnya hubungan sosial, relasi kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan maupun kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalu lintas, dan sebagainya), perkembangan internasional ataupun keadaan geografis.
2. Sumber hukum formil
Perihal ini merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum (rechtskracht). Ihwal ini berkait kelindan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan regulasi hukum itu formal berlaku. Yang direkognisi secara generik sebagai sumber hukum formil, amsalnya: undang-undang, perjanjian antarnegara, yurisprudensi, jua kebiasaan.
Sedangkan menurut L.J. van Apeldoorn (2011:77-79), membedakan empat macam sumber hukum, yaitu:
- Sumber hukum dalam arti historis (rechtsbron in historischezin).
Yang dimaksud dalam ihwal itu ialah tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum dalam arti historis ini lebih lanjut dapat dibagi menjadi dua, yakni:
a) sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenal hukum secara historis, seperti dokumen-dokumen kuno, lontar, surat-surat, dan keterangan-keterangan yang lain dari suatu masa tertentu yang memungkinkan ahli sejarah mengetahui hukum yang sedang berkembang dan sebagainya.
b) sumber hukum yang merupakan tempat pembentuk undang-undang memperoleh bahannya dalam membentuk undang-undang, juga dalam arti sistem-sistem hukum dari mana tumbuh hukum positif sesuatu negara
Dari sudut sejarah ini dapat didekati dari dua sisi, yaitu sisi pertama, dari sumber dalam artian sumber pengenal (kenbron), dimana seseorang dapat mengenal, mengetahui, mengerti, mendapati, menemui aturan-aturan hukum itu. Kita dapat menemukan aturan-aturan hukum itu di dalam dokumen-dokumen yang menyangkut masalah hukum. L.J. Van Apeldoorn, mengatakan sumber hukum dalam arti sumber pengenal hukum, yakni semua tulisan dokumen dan sebagainya dari mana kita dapat belajar mengenal hukum suatu bangsa pada sesuatu waktu. Misalnya; undang- undang, keputusan-keputusan hakim, piagam-piagam yang memuat perbuatan hukum, tulisan-tulisan yang tidak bersifat yuridis sepanjang memuat pemberitahuan menganai lembaga-lembaga hukum. Sisi kedua, sumber dalam arti dari mana asal bahan atau materi hukum itu diambil (welbron). Terhadap suatu hukum tertentu yang ada sebenarnya dapat dilacak atau ditelusuri asalnya bahan atau materi hukum, pasti ada sumbernya, induknya atau babonnya. L.J. Van Apeldoorn, mengatakan bahwa sumber dalam arti dari mana asal isi atau materi hukum itu adalah dari mana pembentuk undang-undang memperoleh bahan dalam membentuk undang- undang, juga dalam arti sistem-sistem hukum, dari mana tumbuh hukum positif sesuatu negara.
- Sumber hukum dalam arti sosiologis (rechtsbron in sociologischezin).
Merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif. Misalnya keadaan agama, pandangan agama dan sebagainya. Bagi seorang ahli sosiologi maka yang menjadi sumber hukum adalah masyarakat seluruhnya, sebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat itulah yang menentukan isi hukum positif. Oleh karena itu, untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa tersebut memerlukan kerja sama dari berbagai ilmu pengetahuan atau interdisipliner.
- Sumber hukum dalam arti filosofis (rechtsbron in filosofischezin),
Bagi seorang ahli filsafat hukum, perkataan sumber hukum terutama dipakai dalam dua arti, yaitu:
- Sumber isi hukum;
Di sini dinyatakan isi hukum itu asalnya dari mana. Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini, yaitu:
1). Pandangan teokratis; menurut pandangan ini, esensi hukum berasal dari Tuhan.
2). Pandangan hukum kodrat; menurut pandangan ini, isi hukum berasal dari akal manusia.
3). Pandangan mazhab historis; menurut pandangan ini isi hukum berasal dari kesadaran hukum (legal consciousness, rechtsbewustzijn).
b.) sumber kekuatan mengikat dari hukum;
Terlepas dari ada atau tidaknya sanksi yang dijatuhkan oleh pemerintah, mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaedah hukum bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, walakin lantaran mayoritas orang didorong oleh premis kesusilaan atau kepercayaan.
- Sumber hukum dalam arti formil
Yang dimaksud di sini ialah sumber hukum dilihat dari cara terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku, nan mengikat hakim dan penduduk. Substansinya timbul dari kesadaran masyarakat. Agar dapat berupa peraturan tentang tingkah laku harus dituangkan dalam konfigurasi undang-undang, kebiasaan, dan traktat atawa perjanjian antarnegara.
Sumber-Sumber Hukum Tata Negara
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, istilah sumber hukum (Pradana, 2019: 21) itu mempunyai arti yang bermacam-macam dan tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Sumber-sumber hukum tata negara tidak terlepas dari pengertian sumber hukum menurut perspektif ilmu hukum pada galibnya. Sumber hukum tata negara itu sendiri jua mencakup sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formil.
Sumber hukum materiil tata negara (Huda, 2013: 32) adalah sumber yang menentukan isi kaedah hukum tata negara. Sumber hukum yang termasuk ke dalam sumber hukum dalam arti materiil ini di antaranya:
- Dasar dan pandangan hidup bernegara;
- Kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah hukum tata negara;
Sementara itu, sumber hukum formil tata negara terdiri dari:
- Hukum perundang-undangan ketatanegaraan;
- Hukum adat ketatanegaraan;
- Hukum kebiasaan ketatanegaraan atawa konvensi ketatanegaraan;
- Yurisprudensi ketatanegaraan;
- Hukum perjanjian ketatanegaraan internasional;
- Doktrin ketatanegaraan.
Penjabarannya, Hukum Perundang-undangan adalah hukum tertulis yang dibentuk dengan cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Disebut hukum perundang-undangan karena dibuat atau dibentuk dan diterapkan oleh badan yang menjalankan fungsi perundang-undangan (legislator). Segala bentuk hukum tertulis, baik yang merupakan undang-undang dalam arti formil maupun undang-undang dalam arti materiil, tercakup dalam istilah perundang-undangan Istilah cakupan tersebut meliputi produk hukum tertulis tingkat nasional ataupun produk hukum tertulis yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Dus, jamak produk hukum tertulis atau ketentuan perundang-undangan menyembulkan pertanyaan, bagaimanakah relasi (betrekking) antara ketentuan hukum tertulis yang satu dengan yang lainnya, suatu ihwal yang krusial untuk diketahui responsnya lantaran menyangkut ketentuan mengikat hukum tertulis itu sebagai hukum. Perihal ini diatur dalam urutan atawa tingkat hierarkis produk hukum tertulis itu yang menempatkan UUD pada derajat yang tertinggi. Artinya segala ketentuan hukum tertulis tidak boleh bertentangan dengan UUD (in strijd zijn met de grondwet) atau dengan kata lain harus kolateral dengan UUD. Khususnya di Republik Indonesia, yakni UUD 1945.
Syahdan, Hukum Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang tidak tertulis, walakin tumbuh dan dipertahankan dalam persekutuan masyarakat adat. Hukum Adat direkognisi sebagai salah satu konfigurasi hukum yang berlaku. Mengikat bukan saja pada anggota persekutuan masyarakat, melainkan mengikat pula pada peradilan atawa administrasi negara yang bertugas menerapkannya dalam situasi konkret.
Hukum Adat Ketatanegaraan adalah hukum asli bangsa Indonesia di bidang ketatanegaraan adat. Hukum Tata Negara Adat semakin berkurang peranannya. Walaupun dalam beberapa hal masih tampak pada penyelenggaraan pemerintahan desa seperti rembuk desa, Hukum Adat Tata Negara berangsur-angsur diganti oleh hukum perundang-undangan dan konvensi.
Contoh dari Hukum Tata Negara Adat yang berasal dari zaman dahulu adalah ketentuan-ketentuan mengenai swapraja (kedudukannta, struktur pemerintahannya, organisasi jabatan-jabatan yang ada di dalamnya, dan sebagainya), mengenai persekutuan-persekutuan hukum kenegaraan asli lainnya (desa, kuria, gampong), serta peradilan agama.
Berikutnya, Konvensi atau hukum (kebiasaan) ketatanegaran. Istilah konvensi (Thaib dkk, 2013: 121) berasal dari Bahasa Inggris convention. Secara akademis acap kali istilah convention difusikan dengan perkataan constitution atau constitutional seperti convention of the constitution.
Konvensi atau hukum (kebiasaan) ketatanegaran menurut Ranawijaya dalam (Huda, 2013: 34) ialah (hukum) yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyempurnakan, dan menghidupkan (mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan.
Dari apa yang dikemukakan oleh A.V. Dicey dalam (Thaib dkk, 2013: 122) disebutkan bahwa konvensi ketatanegaraan harus memenuhi ciri-ciri berikut ini:
a. Konvensi itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang ketatanegaraan.
b. Konvensi tumbuh, berlaku, diikuti dan dihormati dalam praktik penyelenggaraan negara.
c. Konvensi sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaran terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan.
Adapun contoh konvensi ketatanegaraan (convention of the constitution) adalah meliputi (Nadir, 2013: 23):
a. Raja harus mensahkan setiap rencana undang-undang yang telah disetujui oleh kedua majelis dalam parlemen.
b. Majelis tinggi tidak akan mengajukan sesuatu rencana undang-undang keuangan (money bill).
c. Menteri-menteri meletakan jabatan apabila mereka tidak mendapat kepercayaan dari majelis rendah.
Adapun praktek ketatanegaraan yang dikembangkan menjadi konvensi (Manan, 2006: 108-121), yaitu:
1. Pertanggungjawaban Wakil Presiden terhadap MPR;
2. Pertimbangan regional dalam pemilihan Presiden, Wakil Presiden dan Pengangkatan Menteri;
3. Keikutsertaan DPR dalam pengangkatan Menteri;
4. Wewenang Presiden dalam membuat atau memasuki persetujuan dengan Negara lain;
5. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
6. Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
7. Pelaksanaan perubahan UUD yang telah disetujui rakyat dalam suatu referendum;
8. Pengesahan undang-undang yang telah disetujui DPR;
9. Syarat tidak pernah dipidana penjara untuk menjadi calon atau memangku suatu jabatan;
10. Tentang asas tidak berlaku surut (asas non retroaktif).
Jadi, konvensi itu berkembang lantaran kebutuhan dalam praktik penyelenggara negara. Konvensi dapat terjadi melalui suatu praktik berulang-ulang nan tumbuh menjadi kewajiban yang harus ditaati para penyelenggara negara. Di samping itu pula, konvensi dapat terjadi via konsensus dalam entitas tertulis.
Lalu, berkait berkelindan dengan Yurisprudensi Ketatanegaraan, yaitu kumpulan keputusan-keputusan pengadilan mengenai problematik ketatanegaraan yang setelah disusun secara teratur memberikan konklusi tentang adanya ketentuan-ketentuan hukum tertentu yang ditemukan atau dikembangkan oleh badan-badan pengadilan.
Kemudian, untuk sumber hukum formil tata negara yang kelima, yakni Traktat atawa Perjanjian Internasional. Traktat atau Perjanjian Internasional merupakan persetujuan yang dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara lain, di mana Indonesia telah mengikat diri untuk menerima hak-hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang diadakan itu.
Traktat sejatinya merupakan sumber hukum yang krusial. (Kusumaatmadja & Sidharta, B. Arief, 2013: 70). Atas kausa tersebut, tidak cukup traktat cukup diteken oleh Indonesia, walakin mesti pula diratifikasi (mendapatkan pengesahan) pra perjanjian itu mengikat. Di samping traktat, ada perjanjian internasional biasa yang diadakan pemerintah atau badan eksekutf dengan pemerintah lain yang tidak memerlukan pengesahan (ratifikasi).
Hukum perjanjian internasional ketatanegaraan menurut Kusnardi & Ibrahim dalam (Huda, 2013: 36) menandaskan bahwasanya meskipun termasuk dalam bidang Hukum Internasional, sepanjang perjanjian itu menentukan segi hukum ketatanegaraan yang hidup bagi negara masing-masing yang terikat di dalamnya, dapat menjadi sumber hukum formal dari hukum tata negara.
Terakhir, berhubungan dengan doktrin ketatanegaraan atau bisa disebut jua pendapat para sarjana ketatanegaraan menurut Handoyo dalam (Nadir, 2013: 27) ialah proses memformulasikan teori-teori ketatanegaraan melalui serangkaian fakta penelitian dan pengujian, sesudah itu dipergunakan sebagai referensi bagi pembentukan Hukum Tata Negara.
Dengan kata lain, dapat ditandaskan bahwa doktrin ketatanegaraan seperti disebutkan Ranawijaya dalam (Nadir, 2013: 27) merupakan ajaran-ajaran tentang hukum tata negara yang ditemukan dan dikembangkan dalam dunia ilmu pengetahuan sebagai hasil penyelidikan dan pemikiran saksama berdasarkan logika formal yang berlaku.
Daftar Pustaka
Anugrah Pradana, Syafaat. (2019). Buku Ajar Hukum Tata Negara. Parepare, FAKSHI IAIN Parepare.
Huda, Ni’matul. (2013). Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Khairuddin & Satriawan, M. Iwan. (2018). Hukum Tata negara Pasca Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Depok: Rajawali Pers.
Kusumaatmadja, Mochtar & Sidharta, B. Arief. (2013). Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
Manan, Bagir. (2006). Konvensi Ketatanegaraan. Yogyakarta: FH UII Press.
Mertokusumo, Sudikno. (2005). Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Nadir, Putera Astomo. (2013). Kajian Teori Hukum Tata Negara. Yogyakarta: Kutub Wacana.
Ridwan HR. (2010). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Thaib, Dahlan, Hamidi, Jazim & Huda, Ni’matul. (2013). Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers.
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan
Ditulis oleh:
Yulianta Saputra, S.H., M.H.
Dosen Tetap Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
(Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Buku yang Berjudul "Hukum Tata Negara Indonesia", Bab 4 tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara, Terbitan Desember 2021 oleh Penerbit Media Sains Indonesia, hlm 81-95).